Kamis, 07 Juni 2018

Upacara Adat Tabuik


Sejarah dan Pengertian Upacara adat Tabuik dari Sumatra barat


Tabuik adalah perayaan memperingati Hari Asyura (10 Muharam) yaitu mengenang  kisah kepahlawanan dan kematian cucu Nabi Muhammad Saw  yaitu Saidina Hassan bin Ali yang wafat diracun serta Saidina Husein bin Ali yang gugur dalam peperangan dengan pasukan Ubaidillah bin Zaid di padang Karbala, Iraq tanggal 10 Muharam 61 Hijrah (681 Masehi). Dalam pertempuran yang tidak seimbang itu, tubuh Imam Husain yang sudah wafat dirusak dengan tidak wajar. Kepala Imam Husein dipenggal oleh tentara Muawiyah. Kematian Imam Husein diratapi oleh kaum Muslim terutama Muslim Syiah di Timur Tengah dengan cara menyakiti tubuh mereka sendiri. Tradisi mengenang kematian cucu Rasulullah tersebut menyebar ke sejumlah negara dengan cara yang berbeda-beda. Di Indonesia, selain di Pariaman, ritual mengenang peristiwa tersebut juga diadakan di Bengkulu. Dalam perayaan memperingati wafatnya Husein bin Ali, tabuik melambangkan janji Muawiyah untuk menyerahkan tongkat kekhalifahan kepada umat Islam setelah Imam Husain meninggal. Namun, janji itu ternyata dilanggar dan malah mengangkat Jazid yaitu anaknya sebagai putera mahkota.
Sejarah peringatan tabuik

Sebagian Muslim percaya jenazah Husain diusung ke langit menggunakan Bouraq dengan peti jenazah yang disebut Tabot. Kendaraan Bouraq yang disimbolkan dengan wujud kuda gemuk berkepala wanita cantik menjadi bagian utama bangunan Tabuik. Awalnya Tabuik sebagai simbol ritual bagi pengikut Syi’ah untuk mengumpulkan potongan-potongan tubuh Imam Husein dan selama ritual itu para peserta berteriak “Hayya Husein, hayya Husein” atau yang berarti “Hidup Husein, hidup Husein”. Akan tetapi, di Pariaman teriakan tersebut telah berganti dimana para pengusung dan peserta Tabuik akan berteriak “Hoyak Hussein, hoyak Hussein” sambil menggoyang-goyangkan menara Tabuik yang berbentuk menara dan bersayap serta sebuah kepala manusia.
Festival Tabuik masuk kalender acara wisata Sumatra Barat dan kalender acara wisata nasional. Puluhan ribu orang dari pelosok Sumatra Barat dan perantau datang ke Pariaman hanya ingin melihat Festival Tabuik selama 14 hari. Upacara tabuik dapat dihadiri hingga sekitar 6.000 orang per hari dan 90.000 orang saat puncak acara.
Pelaksanaan upacara tabuik

Acara Tabuik di Pariaman dan Ta’ziyeh di Iran memiliki kesamaan ritual yaitu untuk memperingati kematian Imam Hussein.  Dalam perayaan ini masyarakat menyaksikan dua buah tabuik atau keranda setinggi 13 hingga 15 meter yang masing-masing diangkat oleh 20 lelaki. Mereka menggoyang-goyang, memutar-mutar, dan mengarak tabuik dari pusat kota menuju pantai. Lalu, pemain gendang tasa menepuk irama, mengiringi setiap liukan tabuik, dentamnya membangkitkan semangat. Di antara irama gendang terselip teriakan keras “Hoyak Hussein”.
Arti kata tabuik

Kata tabuik yang berasal dari bahasa Arab dapat mempunyai beberapa pengertian. Pertama, tabuik diartikan sebagai ‘keranda’ atau ‘peti mati’. Pengertian yang lain mengatakan bahwa tabuik artinya adalah peti pusaka peninggalan Nabi Musa yang digunakan untuk menyimpan naskah perjanjian Bani Israel dengan Allah. Tabut pada mulanya sebuah peti kayu yang dilapisi dengan emas sebagai tempat penyimpanan manuskrip Taurat yang ditulis di atas lempengan batu.  Akan tetapi, Tabuik kali ini tidak lagi sebuah kotak peti kayu yang dilapisi oleh emas. Namun,  yang diarak oleh warga Pariaman adalah sebuah replika menara tinggi yang terbuat dari bambu, kayu, rotan, dan berbagai macam hiasan. Puncak menara adalah sebuah hiasan yang berbentuk payung besar, dan bukan hanya di puncak, di beberapa sisi menara hiasan berbentuk payung-payung kecil juga terpasang berjuntai. Tidak seperti menara lazimnya, bagian sisi-sisi bawah Tabuik terkembang dua buah sayap. Di antara sisi-sisi sayap itu, terpasang pula ornamen ekor dan sebuah kepala manusia sepertinya wajah wanita lengkap dengan kerudung. Bambu-bambu besar menjadi pondasi sekaligus tempat pegangan untuk mengusung Tabuik yang terlihat kokoh dan sangat berat. Butuh banyak pria untuk mengangkatnya dan butuh banyak kucuran keringat untuk mengoyaknya.
waktu pelaksanaan upacara tabuik

Tradisi Tabuik telah terpelihara sejak 1829 oleh warga Pariaman. Perayaan Tabuik diselenggarakan setiap 1 hingga 10 Muharam. Ada beberapa versi mengenai asal-usul perayaan tabuik di Pariaman. Versi pertama mengatakan bahwa tabuik dibawa oleh orang-orang Arab (Muslim Syiah) yang datang ke Pulau Sumatera untuk berdagang. Sedangkan, versi lain berdasarkan catatan Snouck Hurgronje mengatakan bahwa tradisi Tabuik masuk ke Indonesia melalui dua gelombang. Gelombang pertama sekitar abad 14 M, tatkala Hikayat Muhammad diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu. Melalui buku itulah ritual tabuik dipelajari Anak Nagari. Sedangkan, gelombang kedua tabuik dibawa oleh tentara Cipei/Sepoy dari India penganut Islam Syiah yang dipimpin oleh Imam Kadar Ali. Pasukan  itu berasal dari India yang oleh Inggris dijadikan serdadu ketika menguasai  Bengkulu dari tangan Belanda sesuai Traktat London, 1824.
Dalam sejarah Pariaman, Tabuik pertama kali diperkenalkan serdadu Tamil yang menjadi bagian pasukan Inggris pimpinan Thomas Stamfort Raffles. Saat itu Inggris menguasai Bengkulu tahun 1826. Pasukan Tamil yang kebayakan Muslim setiap tahun menggelar pesta Tabuik dimana di Bengkulu bernama “Tabot”. Kegiatan ini kemudian diikuti pula oleh masyarakat yang ada di Bengkulu dan meluas hingga ke Panian, Padang, Pariaman, Maninjau, Pidi, Banda Aceh, Meulauboh dan Singkil. Dalam perkembangan berikutnya, ritual itu satu-persatu hilang dari daerah-daerah tersebut dan akhirnya hanya tinggal di dua tempat yaitu Bengkulu dengan sebutan Tabot dan Pariaman dengan sebutan Tabuik. Setelah perjanjian London 17 Maret 1829, Inggris harus meninggalkan Bengkulu dan menerima daerah jajahan Belanda di Singapura. Sebaliknya Belanda berhak atas daerah-daerah jajahan Inggris di Indonesia termasuk Bengkulu dan wilayah Sumatera lainnya. Serdadu Inggris harus meninggalkan Bengkulu, namun pasukan Tamil yang mayoritas Muslim memilih bertahan dan melarikan diri ke Pariaman, Sumatera Barat yang saat itu terkenal sebagai daerah pelabuhan yang ramai di pesisir barat pulau Sumatera. Karena pasukan Tamil mayoritas Muslim, mereka diterima masyarakat Pariaman yang memeluk Islam. Terjadilah pembauran sosial-budaya. Salah satu pembauran budaya ditunjukkan oleh Pesta Tabuik. Bahkan Tabuik akhirnya menjadi tradisi yang tidak terpisahkan dari kehidupan warga Pariaman. Di Pariaman, kemudian tabuik diselenggarakan oleh Anak Nagari dalam bentuk Tabuik Adat. Namun, seiring dengan banyaknya wisatawan yang datang untuk menyaksikannya, tahun 1974 pengelolaan tabuik diambil alih oleh pemerintah daerah setempat dan dijadikan Tabuik Wisata.
Proses Pembuatan Tabuik

Tabuik dibuat oleh dua kelompok masyarakat Pariaman, yakni kelompok Pasar dan kelompok Subarang. Kedua tempat tersebut dipisahkan oleh aliran sungai yang membelah Kota Pariaman. Kelompok Tabuik Pasar terdiri dari gabungan 12 desa yang ada di kota Pariaman, sementara kelompok Tabuik Subarang terdari dari gabungan 14 desa lainnya. Dahulu, selama berlangsungnya pesta tabuik selalu diikuti dengan perkelahian antara warga dari daerah Pasar dan Subarang. Bahkan, ada beberapa pasangan suami-isteri yang berpisah dan masing-masing kembali ke daerah asalnya di Subarang dan Pasar. Setelah upacara tabuik berakhir, suami-istri tersebut kembali berkumpul dalam satu rumah. Walaupun korban terluka parah dalam perkelahian, namun ketika acara berakhir mereka bersatu kembali, sehingga suasana kembali tenang dan damai seperti semula.
Tabuik dibuat secara bersama-sama dan melibatkan ahli budaya dan sejarah, serta tokoh masyarakat. Masyarakat berkelompok dan saling bahu-membahu untuk membuat Tabuik dan mengaraknya. Pembuatan tabuik ini memakan biaya puluhan juta rupiah.
Tabuik dibuat oleh kedua tempat ini terdiri dari dua bagian yaitu bagian atas dan bawah yang tingginya dapat mencapai 15 meter. Bagian atas mewakili keranda berbentuk menara yang dihiasi dengan bunga dan kain beludru berwarna-warni. Sedangkan, bagian bawah berbentuk tubuh kuda, bersayap, berekor dan berkepala manusia berambut panjang.  Kuda itu dibuat dari rotan dan bambu dengan dilapisi kain beludru halus warna hitam dan pada empat kakinya terdapat gambar kalajengking menghadap ke atas. Kuda tersebut adalah simbol Bouraq, kendaraan yang memiliki kemampuan terbang secepat kilat dan digunakan saat Isra’ Miraj Nabi Muhammad Saw. Buraq dipercaya membawa Imam Hussein ke langit.
Bagian tengah Tabuik berbentuk gapura petak yang ukurannya makin ke atas makin besar. Pada gapura itu ditempelkan motif ukiran khas Minangkabau. Di bagian bawah dan atas gapura ditancapkan bungo salapan atau delapan bunga berbentuk payung dengan dasar kertas warna bermotif ukiran atau batik. Puncak Tabuik dihiasi payung besar yang dibalut kain beludru dan kertas hias yang juga bermotif ukiran. Di atas payung ditancapkan patung burung merpati putih. Kaki Tabuik terdiri dari empat kayu balok bersilang dengan panjang sekitar 20 meter. Balok-balok itu digunakan untuk menggotong dan menghoyak Tabuik yang dilakukan sekitar 100 orang dewasa.
Pelaksanaan Upacara adat Tabuik

Pesta Tabuik ini, dulu dikenal sebagai ritual tolak bala, yang diselenggarakan setiap tanggal 1-10 Muharram. Tabuik dilukiskan sebagai  “Bouraq”, binatang berbentuk kuda bersayap, berbadan tegap, berkepala manusia seperti wanita cantik, yang dipercaya telah membawa arwah Hasan dan Husein ke surga. Dengan dua peti jenazah yang berumbul-umbul seperti payung mahkota, tabuik tersebut memiliki tinggi antara 10-15 meter. Puncak Pesta Tabuik adalah bertemunya Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang. Kedua tabuik itu dihoyak dengan ditingkahi alat musik tambur dan gendang tasa. Petang hari kedua tabuik ini digotong menuju Pantai Gondoriah, dan menjelang matahari terbenam, kedua tabuik dibuang ke laut. Dikisahkan, setelah tabuik dibuang ke laut, saat itulah kendaraan bouraq membawa segala arak-arakan terbang ke surga.
tahapan pelaksanaan tabuik

1)    pembuatan tabuik;
2)    tabuik naik pangkat yaitu menyatukan tiap-tiap bagian tabuik;
3)    maambiak tanah yaitu mengambil tanah yang dilakukan pada saat adzan Magrib. Pengambilan tanah tersebut mengandung makna simbolik bahwa manusia berasal dari tanah. Setelah diambil, tanah tadi diarak oleh ratusan orang dan akhirnya disimpan dalam daraga yang berukuran 3×3 meter, kemudian dibalut dengan kain putih, lalu diletakkan dalam peti bernama tabuik;
4)    maambiak batang pisang yaitu mengambil batang pisang dan ditanamkan dekat pusara;
5)    maarak panja atau jari  yaitu mengarak panja yang berisi jari-jari palsu keliling kampung. Maarak panja merupakan pencerminan pemberitahuan kepada pengikut Husein bahwa jari-jari tangan Husein yang mati terbunuh telah ditemukan;
6)    maarak sorban yaitu membawa sorban berkeliling dn  menandakan bahwa Husein telah dipenggal; serta
7)    membuang tabuik  yaitu membawa tabuik ke pantai dan dibuang ke laut.
Selama sepuluh hari (1-10 Muharam), digelar pula berbagai penampilan seni budaya anak Nagari Pariaman, yakni Rabab Pariaman, Gandang Tassa, Randai, Lomba Baju Kuruang, Puisi dan Tari Minang. Selain itu digelar bazar dan pameran aneka produk usaha kecil dan menengah serta komoditi ekspor dari Pariaman. Ratusan ribu pengunjung berdatangan selama pesta “Tabuik”, baik wisatawan Nusantara maupun mancanegara.

Pembukaan Pesta Tabuik
Ditandai Pawai Taaruf oleh ribuan pelajar dan masyarakat yang mengintari kota. Setelah Pawai Taaruf, pesta pun dimulai. Selama pesta yang lamanya 10 hari ada pertunjukan-pertunjukan lain, seperti Pawai tasawuf, pengajian yang melibatkan ibu-ibu dan murid-murid Tempat Pengajian Al Quran (TPA) dan madrasah se-Pariaman, grup drum band, tari-tarian, musik gambus, dan bahkan atraksi debus khas Pariaman. Menyertai acara pembukaan pada hari pertama juga digelar Festival Anak Nagari (permainan tradisional Pariaman), festival Tabuik Lenong dan diakhir pawai Muharam mengelilingi Kota Pariaman. Malam harinya digelar hiburan musik gambus di Lapangan Merdeka yang dihadiri ribuan penonton. Hari kedua, pembuatan Tabuik dimulai dengan pembuatan kerangka dasar Tabuik dari bahan kayu, bambu, dan rotan. Malam harinya, digelar kesenian tradisional “Randai”. Hari ketiga pengerjaan kerangka dasar Tabuik dilanjutkan, sedangkan di lapangan digelar kesenian organ tunggal menampilkan penyanyi-penyanyi lokal. Tanggal 4 Muharram selain melanjutkan pembuatan kerangka dasar Tabuik juga mulai dipersiapkan pembuatan kerangka Bouraq dan malam harinya warga Pariaman dihibur dengan film layar tancap di lapangan Merdeka.
Bahan untuk membuat tabuik

Tabuik merupakan keranda bertingkat tiga yang terbuat dari kayu, rotan dan bambu dengan tinggi mencapai 15 meter dan berat sekitar 500 kilogram. Bagian bawah dan atas Tabuik nantinya akan disatukan dengan cara bagian atas diusung secara beramai-ramai untuk disatukan dengan bagian bawah. Setelah itu, berturut-turut dipasang sayap, ekor, bunga-bunga salapan dan terakhir kepala. Untuk menambah semangat para pengusung Tabuik akan diiringi dengan musik gendang tasa. Gendang tasa adalah sebutan bagi kelompok pemain gendang yang berjumlah tujuh orang. Mereka bertugas mengiringi acara penyatuan tabuik (tabuik naik pangkat). Gendang ini ada dua jenis. Jenis pertama disebut tasa didiang. Jenis ini dibuat dari tanah liat yang diolah sedemikian rupa, kemudian dikeringkan. Tasa didiang ini harus dipanaskan sebelum dimainkan. Jenis gendang kedua adalah yang terbuat dari plastik atau fiber dan dapat langsung dimainkan. Setelah penyatuan tabuik selesai, kedua tabuik yang merupakan personifikasi dari dua pasukan yang akan berperang dipajang berhadap-hadapan.
Menjelang sore penyatuan tabuik (tabuik naik pangkat), dikerumuni ratusan ribu orang, kedua tabuik itu diarak keliling Kota Pariaman. Masing-masing tabuik dibawa oleh delapan orang pria. Menjelang senja, kedua tabuik dipertemukan kembali di Pantai Gondoriah. Pertemuan kedua tabuik di Pantai Gondariah ini merupakan acara puncak dari upacara tabuik, karena tidak lama setelah itu keduanya akan diadukan (sebagaimana layaknya perang di Karbala). Menjelang matahari terbenam kedua tabuik dibuang ke laut yaitu Pantai Gondoriah. Prosesi pembuangan tabuik ke laut merupakan suatu bentuk kesepakatan masyarakat untuk membuang segenap sengketa dan perselisihan antar mereka. Selain itu, pembuangan tabuik juga melambangkan terbangnya buraq yang membawa jasad Husein ke Surga. Pantai Gondoriah merupakan tempat yang popular di kota Pariaman dan saat prosesi pembuangan itu dijubeli oleh ribuan manusia.
Sumber Artikel :
 http://macam-macam-tarian-daerah.blogspot.com/2013/10/sejarah-dan-pengertian-upacara-adat.html 

Sumber Video  : https://www.youtube.com/watch?v=_M-HuwaXXF8

Upacara Adat Ngaben




Mengenal Upacara Adat Ngaben di Bali


Ngaben merupakan upacara kremasi atau pembakaran jenazah di Bali Indonesia. Upacara adat Ngaben merupakan sebuah ritual yang dilakukan untuk mengirim jenazah pada kehidupan mendatang. Dalam upacara ini, jenazah diletakkan dengan posisi seperti orang tidur. Keluarga yang ditinggalkan pun akan beranggapan bahwa orang yang meninggal tersebut sedang tertidur. Dalam upacara ini, tidak ada air mata karena mereka menganggap bahwa jenazah hanya tidak ada untuk sementara waktu dan menjalani reinkarnasi atau akan menemukan peristirahatan terakhir di Moksha yaitu suatu keadaan dimana jiwa telah bebas dari reinkarnasi dan roda kematian. Upacara ngaben ini juga menjadi simbol untuk menyucikan roh orang yang telah meninggal.

upacara adat ngaben di bali

Dalam ajaran agama Hindu, jasad manusia terdiri dari badan halus (roh atau atma) dan badan kasar (fisik). Badan kasar dibentuk oleh lima unsur yang dikenal dengan Panca Maha Bhuta. Kelima unsur ini terddiri dari pertiwi (tanah), teja (api), apah (air), bayu (angin), dan akasa (ruang hampa). Lima unsur ini menyatu membentuk fisik dan kemudian digerakkan oleh roh. Jika seseorang meninggal, yang mati sebenarnya hanya jasad kasarnya saja sedangkan rohnya tidak. Oleh karena itu, untuk menyucikan roh tersebut, perlu dilakukan upacara Ngaben untuk memisahkan roh dengan jasad kasarnya.

Tentang asal usul kata Ngaben sendiri ada beberapa pendapat. Ada yang mengatakan bahwa Ngaben berasal dari kata beya yang berarti bekal. Ada yang berpendapat dari  kata ngabu yang berarti menjadi abu.  Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa Ngaben berasal dari kata Ngapen yakni penyucian dengan api. Dalam kepercayaan Hindu, dewa Brahwa atau dwa pencipta dikenal sebagai dewa api. Oleh karena itu, upacara ini juga bisa dianggap sebagai upaya untuk membakar kotoran yang berupa jasad kasar yang masih melekat pada roh dan mengembalikan roh pada Sang Pencipta.

Bagi masyrakat di Bali, Ngaben adalah momen bahagia karena dengan melaksanakan upacara ini, orang tua atau anak-anak telah melaksanakan kewajiban sebagai anggota keluarga. Oleh sebab itu, upacara ini selalu disambut dengan suka cita tanpa isak tangis. Mereka percaya bahwa isak tangis justru hanya menghambat perjalanan roh mencapai nirwana.Hari yang sesuai untuk melakukan upacara Ngaben biasanya didiskusikan dengan para tetua atau orang uang paham. Tubuh jenasah akan diletakkan di dalam sebuah peti. Peti ini diletakkan di dalam sebuah sarcophagus yang berbentuk lembu atau diletakkan di sebuah wadah berbentuk vihara. Wadah ini terbuat darI kertas dan kayu. Bentuk vihara atau lembu ini dibawa menuju ke tempat kremasi melalui suatu prosesi. Prosesi tersebut tidak berjalan pada satu jalan lurus karena bertujuan untuk menjauhkan roh jahat dari jenasah.

Puncak Upacara adat Ngaben adalah prosesi pembakaran keseluruhan struktur yaknik Lembu atau vihara tadi berserta dengan jenasah. Prosesi Ngaben biasanya memerlukan waktu yang cukup lama. Bagi jenasah yang masih memiliki kasta tinggi, ritual ini bisa dilakukan selama 3 hari. Namun, untuk keluarga yang kastanya rendah, jenasah harus dikubur terlebih dahulu baru kemudian dilakukan Ngaben.
Upacara Ngaben di Bali biasanya dilakukan secara besar-besaran seperti sebuah pesta dan memakan biaya yang banyak. Oleh sebab itu, tidak sedikit orang yang melakukan upacara Ngaben dalam selang waktu yang lama setelah kematian. Saat ini, masyarakat Hindu di Bali banyak yang melakukan upacara Ngaben secara massal untuk mengemat biaya. Jadi, jasad orang yang sudah meninggal dimakamkan untuk sementara waktu sambil menunggu biayanya mencukupi. Namun, bagi keluarga yang mampu, Upacara adat Ngaben bisa dilakukan secepatnya.



 Sumber Artikel : https://www.pusakapusaka.com/upacara-adat-ngaben-tradisi-umat-hindu-di-bali.html
umber Video :https://www.youtube.com/watch?v=VB7bP4fVfOw

Palang Pintu

TRADISI BETAWI

Palang pintu merupakan satu adat istiadat pernikahan yang masih cukup kuat dijalani masyarakat Betawi. Suku yang mendiami wilayah Jakarta dan sekitarnya ini memiliki serangkaian sakral dari rukun adat pernikahan. Menurut masyarakat Betawi, upacara pernikahan bertujuan untuk memenuhi kewajiban dan perintah norma agama, yaitu Islam yang banyak dianut warga Betawi. Adanya rangkaian upacara pernikahan pada adat Betawi dimaksudkan untuk memberi pesan kepada masyarakat bahwa pernikahan adalah ikatan ritual yang hanya terjadi sekali seumur hidup. Oleh sebab itu, ada beberapa tahapan persyaratan tertentu yang harus dilakukan oleh pasangan pengantin saat melangsungkan prosesi pernikahan.



Palang Pintu

Istilah Palang Pintu ditinjau dari sisi etimologis didefinisikan dari dua kata Palang dan Pintu. Palang berarti penghalang agar siapapun tidak mudah untuk lewat, sementara Pintu adalah akses masuk ke suatu wilayah. Jadi istilah Palang Pintu adalah penghalang untuk siapapun yang akan memasuki pintu atau wilayah (keluarga Betawi).
Meski dalam sejarah belum ada catatan secara pasti sejak kapan Tradisi Palang Pintu ini dimulai, namun tokoh Betawi Si Pitung (1874-1903) sudah menjalani tradisi Palang Pintu itu saat memperistri Aisyah, putri Jawara berjuluk Macan Kemayoran, Murtadho. Konon, Si Pitung berhasil menundukkan perlawanan Murtadho yang menjadi Palang Pintu dalam prosesi pernikahan putrinya itu.
Dalam tradisi Betawi, istilah Palang Pintu adalah untuk membuka orang lain yang akan memasuki daerah tertentu dimana suatu daerah mempunyai jawara (penghalang/palang). Tradisi ini biasanya digelar pada acara perkawinan atau besanan. Umumnya, Palang Pintu dalam prosesi perkawinan dilakukan dengan saling adu seni beladiri antara pihak mempelai laki-laki untuk bisa diterima sebagai keluarga oleh pihak mempelai perempuan. Pada hakekatnya, Palang Pintu adalah untuk menghalangi pihak mempelai laki-laki agar memperhatikan norma adat yang berlaku di pihak keluarga mempelai perempuan. Selain itu, pihak mempelai laki-laki juga harus mampu menguasai ilmu agama atau mengaji.

Para penjaga pintu mempelai wanita kemudian membuka percakapan dengan sejumlah pantun yang harus dibalas perwakilan mempelai pria. Dialog pantun dikumandangkan agar mengundang hadirin. Isi pantun biasanya tanya jawab seputar maksud dan tujuan pihak pria. Acara ini dilaksanakan sebelum akad nikah dimulai. Ketika rombongan calon pengantin laki-laki baru tiba di depan kediaman calon pengantin perempuan, rombongan akan dihadang oleh keluarga calon pengantin perempuan. Para jagoan calon pengantin pria harus melawan jagoan dari pihak calon mempelai wanita.
Setelah itu, seorang wakil pengantin perempuan menantang adu silat pihak lelaki sebagai simbol perjuangan mempelai laki-laki untuk menikahi pujaan hatinya. Uniknya, setiap pertarungan silat itu, pihak mempelai wanita pasti dikalahkan oleh jagoan calon pengantin pria.
Selain adu pantun dan silat, calon pengantin pria juga ditantang keahliannya dalam membaca kitab suci Al Quran. Setelah semua ujian dilewati, palang pintu baru dibuka dan dimasuki oleh calon mempelai pria. Jika pihak laki-laki tidak bisa memenuhi syarat-syarat tersebut maka pengantin tersebut dipersilakan pulang kembali dan bisa kembalin datang jika sudah siap.


Sumber Artaikel : https://putradjakarta.blogspot.com/2016/12/sejarah-palang-pintu-betawi.html
Sumber Video : https://www.youtube.com/watch?v=V5jh3XkElEI

Midodareni

Pernikahan Adat  Jawa Acara Malam Midodareni

Buat kamu cewek atau cowok keturunan Jawa, pasti sudah tak asing lagi dengan istilah Malam Midodareni dalam pernikahan. Apalagi buat kamu yang memiliki orangtua yang masih kental berbudaya Jawa. Midodareni ini merupakan proses upacara pernikahan adat Jawa yang sepertinya telah mengalami sedikit revolusi alias pergeseran, entah itu prosedurnya atau pemaknaannya.

Menurut mitos Jawa, Midodareni berasal dari legenda Jaka Tarub dan Nawangwulan. Kunjungan Sang Dewi untuk putrinya, Nawangsih yang hendak menikah

Bidadari...

Upacara Midodareni ini berasal dari cerita legenda Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan. Dikisahkan, Nawangwulan adalah seorang bidadari yang turun dari kahyangan ke bumi untuk menjenguk putrinya, Dewi Nawangsih yang akan menikah. Berangkat dari cerita inilah, masyarakat Jawa mulai mengenal Malam Midodareni yang berasal dari kata /widodari/ atau /bidadari/. Artinya, mereka percaya bahwa malam sebelum pernikahan, para bidadari dari kahyangan turun ke bumi dan menyambangi rumah calon pengantin wanita.

Malam Midodareni bisa juga diartikan sebagai pingitan untuk calon pengantin wanita. Malam sebelum prosesi pernikahan esok harinya

Mungkin orang lebih akrab dengan istilah pingit bagi calon pengantin wanita. Ya, karena memang dia hanya diperbolehkan berdiam diri di kamar dengan busana biasa dan rias yang sangat sederhana, setelah sebelumnya melakukan acara siraman. Di malam ini, calon pengantin wanita di kamar dengan ditemani oleh sepupu dan kerabat, biasanya juga ditemani oleh sesepuh yang memberikan wejangan dan gambaran dalam kehidupan setelah berkeluarga nantinya.

Malam midodareni diawali dengan mempelai pria yang datang ke rumah calon istrinya dengan berjalan kaki. Janggolan atau nyantri dengan membawa seserahan

Bersama seserahan.

Konon, pada tradisi Jawa, malam Midodareni ini diawali dengan perjalanan calon pengantin pria yang menyambangi kediaman calon pengantin wanita. Tapi, si pria harus berjalan kaki dari tempat tinggalnya bersama walinya, untuk menemui calon mertuanya. Ingat, kedua calon pengantin tak boleh bertemu lho, ya! Satu lagi, calon pengantin pria ini hanya diperbolehkan bertamu hingga teras rumah dan diberi suguhan minum air putih saja.
Advertisement
Nah, setelah itu, calon pengantin pria ini menyerahkan beberapa bingkis seserahan yang berjumlah ganjil, disertai dengan maksud dan tujuannya; menyatakan kemantapan hatinya untuk menikahi wanita pujaannya. Seserahan ini berisi segala keperluan sehari-hari calon pengantin wanita. Simbolis, bahwa si pria ini nantinya dapat menafkahi istrinya ketika sudah berumah tangga.

Setelah melakukan janggolan, kedua orangtua melanjutkan dengan tantingan. Menanyakan kemantapan hati calon mempelai wanita

Wis mantep, Nduk?

Baru setelah melakukan jonggolan atau nyantri dengan membawa seserahan, orangtua dari kedua mempelai mengunjungi kamar calon pengantin wanita dengan maksud menanyakan kemantapan hatinya. Apakah sudah siap lahir batin menikah dan menjadi istri untuk calon pengantin prianya. Satu yang unik dari proses ini adalah, cuma ibu dari kedua mempelailah yang boleh masuk ke kamar calon pengantin wanita.

Acara dilanjutkan dengan pemberian wejangan bagi calon pengantin pria, disebut pula Catur Wedha. Empat pedoman dalam bahtera rumah tangga

Dengerin!

Setelah kedua calon pengantin setuju dan mantap untuk menghabiskan hari-hari berdua dalam bahtera rumah tangga, maka ibu dari calon pengantin wanita memberikan sepaket wejangan kepada calon menantunya alias Catur Wedha. Empat pedoman hidup dalam berumah tangga ini merupakan sebuah peninggalan berharga dari nenek moyang Jawa ketika dua pasang anak manusia hendak memasuki gerbang pernikahan.
Adapun isinya, antara lain:

1. Hangayomi

Dalam bahasa Jawa, hangayomi berarti mengayomi atau melindungi. Secara arti luas, pria harus melindungi istrinya dengan sepenuh hati, sama halnya orangtua yang melindungi anak-anaknya tanpa pamrih. Hingga istrimu kelak benar-benar merasa aman dan damai.

2. Hangayani

Hangayani berarti menyejahterakan, dalam bahasa Jawa. Sudah sepatutnya menjadi tanggung jawab kepala keluarga untuk menyejahterakan atau mencukupi segala kebutuhan istrinya, bukan? Karena sebuah ikatan rumah tangga hanya akan kekal ketika kepala keluarga bisa menyejahterakan istrinya.

3. Hangayemi

Pasangan mana yang tak menginginkan kenyamanan dari pasangannya? Hangayemi dalam bahasa Jawa berarti memberikan rasa nyaman. Wejangan ini harus selalu diterapkan sang pengantin pria untuk istrinya nanti. Karena hanya kenyamananlah yang bisa membuat pasangan memiliki segudang cinta tanpa alasan.

4. Hanganthi

Dalam bahasa Jawa, hanganthi berarti menuntun atau memimpin. Pria harus menjadi penuntun atau pemimpin bagi istrinya. Itulah kenapa pria menjadi kepala rumah tangga. Dialah yang nantinya akan menahkodai perjalanan rumah tangga bersama istri dan anak-anaknya.

Wilujengan Majemukan dan penyerahan angsul-angsul menjadi penutup untuk acara Malam Midodareni. Selamat berbesan!

Selamat berbesan, ya, Bu~

Setelah memberikan wejangan, acara dilanjutkan dengan Wilujengan Majemukan, yang berarti silaturahmi antarkedua pihak keluarga dengan maksud membicarakan kerelaan dan keikhalasan kedua keluarga untuk anak-anaknya menikah. Sebelum pulang, calon pengantin pria mendapatkan angsul-angsul atau oleh-oleh dari calon mertuanya berupa makanan. Sementara calon menantunya memberikan sebuah kancing gelung yang berupa seperangkat busana yang bakal dikenakan calon pengantin wanita nantinya, serta sebuah pusaka atau keris (simbol yang bermakna sebagai alat pelindung bagi keluarganya nanti).
Nah, seperti itulah kurang lebihnya Malam Midodareni yang harus dilakukan oleh pengantin dengan adat Jawa.

Sumber Artikel : https://www.hipwee.com/wedding/pernikahan-adat-jangan-mengaku-gadis-jawa-kalau-kamu-tak-tahu-acara-malam-midodareni/

 

Tari Tor-Tor

Tari Tortor Kesenian Tradisional Batak

Masih di pulau Sumatera, kali ini dari bumi Batak, Sumatera utara. Masyarakat Batak memiliki banyak kesenian yang unik. Salah satunya adalah Tari Tortor yang sangat terkenal di Indonesia.
tradisi kesenian batak
Nah, apakah Tari Tortor itu? Yuk kita cari tahu di sini!

Tari Tortor adalah sebuah tarian perayaan yang gerakan didalamnya mengandung makna komunikasi. Dalam pertunjukan Tari Tortor biasanya di iringi oleh musik gondang. Melalui gerakan dan iringan music gondang tersebut penonton ikut berpartisipasi untuk ikut menari. 
Tarian ini dulunya adalah tarian yang di gunakan dalam acara adat masyarakat Batak. Nama Tari Tortor sendiri berasal dari suara hentakan para penari di atas lantai papan rumah adat Batak. Penari bergerak sesuai dengan iringan musik gondang yang menghentak. Dalam tarian ini terdapat 3 pesan ritual yang di sampaikan yaitu pesan kepada Tuhan yang maha esa, pesan kepada leluhur dan orang yang di hormati dan pesan kepada masyarakat yang hadir. Semua pesan tersebut di sampaikan dalam bentuk tarian yang menunjukkan rasa hormat. 
Jenis tarian Tortor pun beragam, yaitu Tortor pangurason, Tortor sipitu cawan,dan Tortor tunggal panaluan. Tortor pangurason  (pembersihan) yaitu tarian yang di gunakan pada saat pesta besar. Sebelum acara pesta di mulai, tempat dan lokasi pesta di bersihkan dengan menggunakan jeruk purut. Hal ini di lakukan agar terhindar dari mara bahaya.  Selanjutnya Tortor sipitu cawan, tarian ini di gunakan pada saat pengukuhan raja. Menurut legenda, Tortor sipitu cawan berasal dari 7 putri kayangan yang mandi di sebuah telaga di puncak gunung pusuk buhit. Bersamaan dengan datangnya piso sapitu sasarung atau pisau tujuh sarung. Dan yang terakhir Tortor panasulan, yaitu tarian yang di gunakan apabila suatu desa di landa musibah. Dalam tarian ini di lakukan oleh dukun untuk mendapatkan pentunjuk dalam mengatasi masalah tersebut. 
Dalam budaya adat Batak Tari Tortor di iringi dengan tabuhan gondang. Sebelum acara tari di mulai tuan rumah melakukan acara khusus yaitu tua ni gonang. Dalam ritual tersebut tuan rumah meminta permintaan kepada penabuh gonang tentang iringan tabuhan apa saja yang akan di bawakan dalam acara tersebut. Setelah permintaan tersebut di laksanakan, maka keluarga tuan rumah yang siap menari mulai mengatur barisan untuk menari. Adapun jenis lagu pengiring yang akan di bawakan di antaranya adalah permohonan kepada dewa dan roh leluhur agar di beri keselamatan, kesejahteraan, kebahagiaan dan rejeki. Upacara adat ini seakan menjadi sumber berkat bagi seluruh keluarga tuan rumah dan para undangan yang datang.
Tradisi Batak
Gambar : Gerakan Tari Tortor
Dalam Tari Tortor para penari harus memakai ulos,kain selendang yang menjadi ciri khas adat Batak. Selain itu ada banyak pantangan yang harus di hindari dalam menarikan Tari Tortor. Contohnya seperti posisi tangan penari  saat menari tidak boleh melewati batas setinggi bahu ke atas. Bila itu di lakukan maka penari di anggap menantang siapapun, Karena tarian Tortor merupakan suatu tarian yang melambangkan penghormatan. Seperti kesenian lain, Tari Tortor juga mempunyai pakem tersendiri dalam menarikannya.
Seiring dengan perkembangan Tari Tortor tidak lagi di gunakan sebagai ritual saja namun juga menjadi sarana hiburan dan kesenian bagi masyarakat Batak. Dengan perkembangan tersebut, setiap gerakan dan busana yang di gunakan sudah dimodifikasi agar terlihat menarik. Tari Tortor bisa kita temukan di setiap acara besar dan acara adat Batak. Meskipun sudah banyak perubahan, Tari Tortor tetap menjadi tradisi dan warisan nenek moyang masyarakat Batak.
Nah,cukup sekian pengenalan tentang Kesenian Tradisional Tari Tortor. Semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan anda tentang kesenian tradisional di Indonesia.
CINTAI DAN LESTARIKAN KESENIAN TRADISIONAL DI INDONESIA!
 Sumber Artikel :
 http://www.negerikuindonesia.com/2015/03/tari-tortor-kesenian-tradisional-batak.html

Sumber Video    : 
 https://www.youtube.com/watch?v=3M56D_SbNqY

Rumah Adat Sumatra Barat


Rumah Adat Sumatera Barat : Struktur, Filosofi, Fungsi dan Keunikannya

Rumah Adat Sumatera Barat – Sumatera Barat adalah salah satu dari sekian banyak provinsi di Indonesia dengan menjadikan kota Padang sebagai ibu kotanya. Sesuai dengan namanya, provinsi tersebut terletak di pesisir barat pulau Sumatera. Dibagian sebelah barat provinsi ini terdapat sebuah kumpulan pulau-pulau kecil yang bernama Kepulauan Mentawai yang bahkan masih termasuk bagian dari wilayah Sumatera Barat.
Kebanyakan di Sumatera Barat ini dihuni oleh masyarakat Suku Minangkabau dan telah diyakini sebagai penduduk asli dan sekaligus mayoritas disana. Suku Minangkabau atau lebih dikenal dengan orang Minang, memiliki ikatan dengan suku Melayu yang kini memiliki berbagai budaya dan karakteristik yang unik. Tak hanya itu, ternyata penduduk disana terkenal dengan pandai berniaga, gemar merantau, dan pintar memasak.
Selain itu, terdapat banyak sekali keunikan yang menjadi ciri khas dari daerah tersebut, seperti: rumah adat, tarian, alat musik, makanan khas dan masih banyak lagi. Nah… kali ini kita akan membahas salah satu ikon budaya dari provinsi Sumatera Barat yaitu pada rumah adatnya. Agar lebih jelasnya lagi berikut penjelasan tentang rumah adat Sumatera Barat secara lengkap.

Rumah Adat Sumatera Barat


gambar rumah adat sumatera barat
Rumah Adat Sumatera Barat
 
 

Rumah adat Gadang atau Rumah Godang adalah nama bangunan khas yang sering kita jumpai di daerah Sumatera Barat. Bangunan adat tersebut juga sering disebut dengan nama lain oleh masyarakat setempat dengan nama Rumah Bagonjong dan ada juga yang menyebutnya dengan Rumah Baanjuang.
Bangunan dengan bentuk model seperti itu juga banyak kita jumpai di Negeri Sembilan atau Malaysia. Akan tetapi untuk semua daerah di Minangkabau yang boleh mendirikan rumah adat tersebut hanya pada kawasan yang sudah memiliki status sebagai nagari saja. Begitupun dengan sebaliknya, kawasan yang disebut dengan rantau, bangunan ini dulunya tidak ada yang didirikan oleh para perantau Minangkabau.

Struktur Rumah Adat Gadang


rumah adat minangkabau
Sisi dalam Rumah Adat Gadang
Seperti yang sudah disinggung pada bab sebelumnya, bangunan yang menjadi ikon atau ciri khas dari provinsi Sumatera Barat adalah Rumah Gadang. Bangunan adat ini merupakan rumah model panggung yang berukuran besar serta memiliki bentuk persegi panjang. Hampir sama dengan rumah adat di Indonesia pada umumnya, rumah adat Minangkabau ini terbuat dari dibuat dari beberapa material yang berasal dari alam. Misalnya pada tiang penyangga, dinding dan lantainya yaitu terbuat dari papan kayu dan juga bambu, sedangkan pada bagian atapnya yang berbentuk seperti tanduk kerbau ini terbuat dari ijuk.
Selain itu ternyata ada juga yang menyebutkan bahwa pada atap dari bangunan ini diibaratkan seperti bentuk kapal yaitu dengan ukuran kecil dibawah dan yang besar dibagian atas. Kemudian pada bagian atapnya juga mempunyai lengkung keatas yang kurang lebih seperti setengah lingkaran.
Meskipun rumah adat ini hampir 100% terbuat dari alam, namun arsitektur dari bangunan ini memiliki desain yang sangat bagus dan juga sangat kuat. Selain itu rumah adat dari Sumatera Barat ini ternyata memiliki desain yang tahan gempa yang sesuai dengan kondisi geografis didaerah tersebut yang sangat rawan dengan bencana gempa. Dengan desain yang  tahan terhadap gempa tersebut, pada rumah adat Gadang ini di salah satu tiangnya ada yang menancap di tanah.
Kemudian pada tiang yang lainnya dari rumah adat ini justru menumpang atau bertumpu pada batu-batuan di atas tanah. Sehingga dengan desain yang seperti itu, pada bangunan tersebut tidak akan tubuh meskipun terjadi gempa yang kuat. Tak hanya itu, pada setiap pertemuan antara tiang dan kaso besar pada rumah adat ini tidak disatukan dengan paku, melainkan menggunakan pasak yang terbuat dari kayu. Sehingga dengan teknik sambungan seperti itu bangunan tersebut akan bergerak dengan fleksibel meski terguncang dengan getaran gempa.

struktur rumah adat gadang
Bentuk Atap Rumah Adat Minangkabau
Kemudian ada setiap elemen dari bangunan rumah adat Gadang tersebut juga memiliki makna tersendiri. Ada beberapa unsur-unsur yang terdapat pada rumah adat Gadang ini diantaranya:
  • Gojong yaitu struktur pada atap dari rumah adat ini yang seperti tanduk kerbau.
  • Singkok, sebuah dinding yang berbentuk segitiga yang berada di bawah ujung bojong.
  • Pereng, yaitu rak yang ada di bawah singkok.
  • Anjuang, merupakan sebuah lantai yang mengambang.
  • Dindiang ari, merupakan sebuah dinding yang berada di bagian samping dari bangunan rumah adat ini.
  • Dindiang tapi, yakni sebuah dinding yang terletak di bagian depan dan belakang.
  • Papan banyak, fasad depan.
  • Papan sakapiang, adalah sebuah rak yang ada di pinggir rumah.
  • Salangko, yaitu merupakan sebuah dinding yang berada di bawah rumah.

Fungsi dan Keunikan Rumah Adat Gadang

Selain sebagai ikon budaya di Sumatera Barat, rumah adat Gadang hingga saat ini juga digunakan sebagai tempat tinggal oleh suku Minang dan juga sering untuk mengadakan upacara-upacara, pewarisan nilai-nilai adat dan  juga sering dipakai sebagai represensi dari budaya matrilineal. Tak hanya itu, ternyata rumah adat Gadang ini juga diparcayai sebagai tempat yang sangat suci oleh masyarakat Minangkabau.

gambar rumah garang
Bangunan Rangkiang yang Terletak di depan Rumah Adat Gadang
Untuk memenuhi fungsi tersebut, bangunan ini didesain sedemikian rupa yang sesuai dengan aturan-aturan adat yang berlaku sejak lama. Adapun beberapa aturan tersebut misalnya pada pembagian ruangan berdasarkan kegunaannya, misalnya:
  • Seluruh bagian di dalam rumah adat Gadang ini adalah ruangan lepas kecuali kamar tidur.
  • Jumlah kamar yang ada di dalam rumah tersebut bergantung pada jumlah perempuan yang tinggal disana.
  • Setiap perempuan yang sudah menikah berhak mendapatkan satu kamar.
  • Untuk perempuan tua dan yang masih anak-anak mendapatkan satu kamar yang terletak di dekat dapur.
  • Kemudian untuk gadis yang masih remaja mendapatkan satu kamar yang berada di ujung dekat dapur.
  • Pada halaman depan rumah terdapat 2 buah Rangkiang. Rangkiang yaitu bangunan yang biasanya digunakan untuk menyimpan padi dan beberapa bahan pangan lainnya.
  • Pada sayap kanan dan kiri dari bangunan tersebut terdapat sebuah ruangan anjung (dalam bahasa Minang disebut anjuang) yang digunakan sebagai tempat pengantin bersanding atau untuk penobatan kepala adat.
  • Disekitar rumah adat  Gadang ini biasanya terdapat sebuah surau kaum yang memiliki fungsi sebagai tempat untuk beribadah, pendidikan dan sekaligus untuk tinggal lelaki dewasa yang belum menikah dari keluarga tersebut.

Nilai Filosofi dan Ciri Khas Rumah Adat dari Sumatera

Pada umumnya Rumah Gadang ini dibangun diatas sebidang tanah milik suatu keluarga induk. Selain itu juga diwariskan secara turun temurun kepada kaum perempuan saja. Aturan tersebut memiliki filosofi bahwa derajat kaum wanita di Suku Minang ini sangatlah dijunjung tinggi.

Adapun beberapa ciri khas dari rumah adat Suku Minang ini antara lain:
Pada bentuk puncak selalu runcing dan tampak menyerupai dengan tanduk kerbau yang memiliki arti yaitu sebagai lambang kemenangan. Dengan bentuk yang seperti tanduk kerbau tersebut sering dikaitkan dengan kisah Tombo Alam Minangkabau, yaitu sebuah kisah yang menceritakan kemenangan adu kerbau antara orang Minang dengan orang Jawa. Pada bagian atap dari rumah adat Minangkabau ini terbuat dari ijuk dan bisa bertahan hingga sampai puluhan tahun.
Rumah adat ini termasuk dalam model panggung, oleh karena itu untuk memasuki bangunan tersebut kita harus menaiki tangga kecil dibagian depan. Tangga pada rumah adat Minang ini hanya terdapat satu buah saja, dan tangga tersebut merupakan simbol bahwa penduduk Minang masyarakat yang religius.

ukiran pada rumah adat gadang
Motif Ukiran pada Rumah Adat Gadang
Pada dinding dari bangunan ini biasanya dihiasi dengan beragam motif ukiran yang diberi warna kuning, merah,dan hitam. Adapun pada ukiran tersebut biasanya juga terdapat berbagai macam motif flora dan fauna, seperti tumbuhan yang merambat, akar berdaun dan lain sebagainya. Dengan banyaknya motif-motif tersebut diyakini melambangkan bahwa penduduk Minang adalah masyarakat yang dekat dengan alam.
Nah..itulah tadi sedikit ulasan tentang rumah adat dari sumatera barat. Semoga dapat bermanfaat dan juga menambah pengetahuan kita semua. Dan jangan lupa baca artikel yang lainnya.


Sumbear Artikel : https://balubu.com/rumah-adat-sumatera-barat/
Sumber Video    : https://www.youtube.com/watch?v=A7o06LMYEmk



Rabu, 06 Juni 2018

Kebuadyaan Suku Jawa

KEBUDAYAAN SUKU JAWA DI INDONESIA


   Suku bangsa Jawa adalah suku bangasa Indonesia yang paling banyak jumlahnya, menempati seluruh daerah jawa tengah, jawa timur dan sebagian jawa barat mereka menggunakan bahasa jawa secara keseluruhan, hanya saja terdapat perbedaan dialek di daerah tertentu. Suku bangsa jawa termasuk suku bangsa yang telah maju kebudayaannya, karena sejak zaman dahulu mereka telah banyak mendapat pengaruh dari berbagai kebudayaan, seperti : kedubayanan Hindu, Budha, Islam dan Eropa. Setelah mengetahui suku bangsa di Indonesia maka sekarang penyusun akan membahas tentang salah satu suku di Indonsia yaitu Suku jawa.


SISTEM KEPERCAYAAN ATAU RELIGI
  Agama yang dianut oleh sebagian besar suku jawa adalah Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan budha.
Pemeluk Agama Islam dibedakan menjadi dua golongan, yaitu:

1.Golongan Islam Santri, yaitu golongan yang menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran Islam dengan syariat-syariatnya.
2.Golongan Islam Kejawen, yaitu golongan yang percaya pada ajaran Islam, tetapi tidak patuh menjalankan syariat Islam dan masih percaya kepada kekuatan lain.
Selain itu, orang Jawa masih percaya pada hal yang gaib atau kekuatan lain:

1.Percaya pada makhluk-makhluk halus seperti memedi, genderuwo, tuyul, setan, dan lain-lain.
2.Percaya pada hari baik atau naas.
3.Percaya pada hari kelahiran atau weton.
4.Percaya pada benda-benda pusaka, jimat, dan sejenisnya.
Sehubungan dengan berbagai kepercayaan, maka dilaksanakan upacara-upacara selametan sebagai berikut:


ØUpacara selametan yang berhubungan dengan lingkaran hidup manusia, seperti mitoni, kematian, dan lainnya.
Ø  Upacara selametan yang berhubungan dengan kehidupan desa, seperti bersih desa, penggarapan pertanian, dan lainnya.
Ø  Upacara selametan yang berhubungan dengan pernikahan, seperti selamatan sepasaran setelah pernikahan.
Ø  Upacara selametan yang berhubungan dengan peringatan hari-hari atau bulan-bulan besar Islam, seperti sekatenan atau grebeg maulud, sura, dan sebagainya.
Ø  Upacara selametan yang berhubungan dengan kejadian-kejadian tertentu, seperti melakukan perjalanan jauh, mulai membuat rumah, dan sebagainya.
Ø  Upacara selametan yang berhubungan dengan orang meninggal dunia, seperti selametan surtanah atau  (geblak), nelung dina, dan lainnya.

SISTEM KEKERABATAN
   Masyarakat Jawa menganut sistem kekerabatan bilateral atau parental, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari bapak/ibu.
Istilah- istilah yang digunakan dalam sistem kekerabatan Jawa sebagai berikut:
1.Pakde dan Bude (uwa), yaitu semua kakak dari bapak dan ibu, baik laki-laki maupun perempunan beserta suami dan istrinya.
2.Paklik (Paman) dan Bulik (bibi), yaitu semua adik dari ayah dan ibu,baik laki-laki maupun perempuan beserta suami dan istrinya.
3.Nak Ndulur (Sepupu), yaitu anak dari pakde-bude dan paklik-bulik.
4.Misan, yaitu anak dari saudara sepupu.
Pada masyarakat Jawa, perkawinan dianggap ideal apabila diukur dari segi keyakinan dan kesamaan adat yang menunjukan adanya pemilihan jodoh ideal.
Ukuran ideal bagi pria adalah perhitungan bibit, bebet, dan bobot. Sedangkan bagi wanita, perhitungannya didasarkan pada mugen, tegen, dan rigen.
Pernikahan yang dilarang, yaitu menikah dengan:
1.Saudara kandung.
2.Pancer lanang (anak dari dua saudara kandung laki-laki).
3.Pihak laki-laki lebih muda abunya dari pihak perempuan.

SISTEM POLITIK DAN KEMASYARAKATAN
1.Dahulu, pada suku Jawa terdapat stratifikasi sosial yang dikenal dengan golongan bendoro, priyayi, dan wong cilik.
2.Stratifikasi sosial berdasarkan kepemilikan tanah, yaitu wong baku, kuli gondok (lindung), dan sinoman.
3.Dalam bidang pemerintah, pamong desa memilih seorang kepala desa (lurah) dengan semua pembantunya, seperti carik, juga tirta (ulu-ulu), dan juga baya. Tugas utama mereka adalah untuk meningkatkan kesejahteraan desa.

SISTEM EKONOMI
Sistem perekonomian masyarakat Jawa mencakup
1) Pertanian
Yang dimaksud pertanian disini terdiri atas pesawahan dan perladangan (tegalan), tanaman utama adalah padi. Tanaman lainnya jagung, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau dan sayur mayor, yang umumnya ditanam di tegalan. Sawah juga ditanami tanaman perdagangan, seperti tembakau, tebu dan rosella.
2) Perikanan
Adapun usaha yang dilakukan cukup banyak baik perikanan darat dan perikanan laut. Perikanan laut diusahakan di pantai utara laut jawa. Peralatannya berupa kail, perahu, jala dan jarring
3) Peternakan
Binatang ternak berupa kerbau, sapi, kambing, ayam dan itik dan lain-lain.
4) Kerajinan
Kerajinan sangat maju terutama menghasilkan batik, ukir-ukiran, peralatan rumah tangga, dan peralatan pertanian.
    Adapun mata pencaharian dalam suku Jawa atau masyaraakat Jawa biasanya bermata pencaharian bertani, baik bertani di sawah maupun tegalan, juga Beternak pada umumnya bersipat sambilan, selain itu juga masyarakat Jawa bermata pencaharian Nelayan yang biasanya dilakukan masyarakat pantai.

SISTEM KESENIAN


















Sistem kesenian Jawa meliputi:

•  Bentuk rumah adat, misalnya rumah joglo, rumah l imasan, dan lain-lain.
•  Seni tari, misal Tari Serimpi, Tari Gambyong, Tari Merak, dan lainnya.
•  Seni tembang, seperti Sewu Ora Jamu, Ngidung, dan sebagainya.
•  Pakaian Adat Jawa dapat berupa beskap, kebaya, batik, dan lain-lain.

Etika seksual jawa
    Mengenai etika seksual di jawa tidak ada superior ataupun interior,semua pria dan wanita sama saja. Hanya tanggung jawabnya saja yang berbeda.dalam bidang seksual, masyarakat jawa condong untuk bersikap tegas. pada setiap perayaan-perayaan di desa, pria dan wanita duduk secara terpisah.
Para orang tua melarang keras jika putrinya berjalan dengan seorang pria. Mereka berpendapat bahwa anak muda tidak dapat menahan emosinya, Sehingga mereka takut terjadi sesuatu kepada putrinya.

Kesimpulan: Pada dasarnya di Indonesia merupakan bangsa yang paling banyak suku-nya diantara bangsa-bangsa yang lain dan diantara suku-suku itu yang paling banyak jumlah penduduknya yaitu suku bangsa Jawa sendiri yang menempati seluruh daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan juga Jawa Barat. Adapun sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat Jawa lebih didasarkan pada prinsip keturunan bilateral atau parental, sedangkan sistem klasifikasi dilakukan menurut angkatan-angkataya. Dalam system religi / kepercayaan suku Jawa mayoritas Agama Islam merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat suku Bangsa jawa. Walaupun ada sebagian lagi yang menganut bukan Islam yaitu Nasrani, Hindu, Budha dan aliran kejawen. Disini yang dimasud Islam yang dianut-Nya Islam Santri dan Islam Kejawen.
Sumber Artikel :
 http://danu-umbara18.blogspot.com/2013/04/kebudayaan-suku-jawa-di-indonesia.html
Sumber Video : 
https://www.youtube.com/watch?v=9LOsjjuXF-o